Avatar

Okay, ini tulisan beler kedua di blog gw. Hehehe.

And btw, sehabis nonton Avatar, saya terperangkap dalam keadaan dimana saya diharuskan mendorong bus. Penuh orang lagi busnya.

Anyway, langsung saja.


Seperti biasa, tulisan-tulisan beler ini jangan dianggap review,.


Hehehe,.


Avatar


Director : James Cameron


Writer : James Cameron


Cast : Sam Worthingthon, Zoe Saldana, Sigourney Weaver, Stephen Lang.









Pada awalnya saya kurang tertarik dengan proyek Cameron yang satu ini. Saya memiliki pandangan buruk kepada film-film yang mencampurkan live action dengan CGI, atau film animasi human-like full CGI.

Bagi saya film-film tersebut terlihat aneh. Apalagi animasi human-like full CGI, biasanya ekspresi manusia di film tersebut terlihat kaku.


Tetapi ini film Cameron. Saya lupa dengan pernyataan ini.


Lalu setelah perilisan trailer, dan pembahasan di majalah dan media lain, saya pun menjadi tertarik. Saya penasaran apa jadinya film yang didominasi CGI dan berbujet raksasa ini.


Reaksi saya setelah menonton film ini adalah:

Saya seperti ingin menepuk orang yang duduk di sebelah saya di bioskop, menunjuk layar bioskop, dan berkata “That is how the future of cinematic experience is gonna be.”


Suatu film dinilai dari 2 aspek, yaitu aspek naratif dan aspek sinematik.

Dalam Avatar, James Cameron telah berhasil membawa para penonton merasakan sensasi sinematik ke level di atas film-film lain.

So, so, so beautiful.


Kudos for all the people behind this motion picture.


Avatar dengan mudah berhasil menaklukkan film-film lain dalam hal visual.

Im not gonna tell you how gorgeous it is, you just have to see the film.


Let’s talk about the other stuff.

Cerita Avatar ditulis sendiri oleh Cameron. Satu hal yang positif, diantara banjirnya film-film yang diangkat dari buku, komik, atau remake film-film terdahulu.

Dalam Avatar, kita diajak berpetualang dalam planet imajinasi Cameron, Pandora.

Bagi saya, Pandora adalah versi indah dan bersahabat dari bumi.

There’s so many things you could easily find that related to mother earth.


Ada satu hal menarik yang saya perhatikan, ada perubahan tone warna pada adegan real-live dan Pandora. Pada awal film, pada adegan real-live dan Pandora terlihat biasa saja, dan namun seiring bergulirnya film, ketika alur cerita tiba pada saat Jake 'berpindah' kubu, tone warna pada bagian real-live berangsur-angsur menjadi lebih gelap, sedangkan pada Pandora terjadi hal yang sebaliknya, semakin kaya akan warna.


Plot dan konflik yang ada dalam Avatar bukanlah sesuatu yang spesial, bukan sesuatu yang baru. Avatar hanya berpusat pada satu pernyataan.

Humans are the bad guy.

Menilik film-film Cameron terdahulu (Aliens, Terminator, dll), Cameron memang tidak ingin repot-repot menyajikan film yang kompleks, penuh metafora dan hal lainnya.

Ia hanya ingin filmnya benar-benar dinikmati banyak orang.

But not like Michael Bay’s stupid action.


James Cameron menyadari bahwa film yang bisa dinikmati banyak orang juga harus memiliki kedalaman cerita yang cukup.

Avatar sendiri, walapun memiliki jalan cerita yang mudah diikuti, tetapi terasa mengalir dengan baik, dengan tempo yang tepat, dan juga setiap aksi reaksi yang ada memang dibutuhkan dan tidak sia-sia.

Maksud saya adalah, walaupun ini film action, cerita berjalan bereaksi sesuai akibat dari aksi yang ada, tidak ada adegan ‘no point’ yang tidak diperlukan.


Terlepas dari visualisasi yang menakjubkan, Cameron tidak lupa, pendalaman karakter adalah penting. Walaupun ‘hanya’ CGI, tetapi setiap karakter Avatar dapat mengekspresikan emosi dengan baik dan detil.

Hal ini membuat saya merasa bahwa dinding ‘animasi’ diruntuhkan, dan menganggap mereka adalah nyata.

So, this is not just a head to head CGI action.


Avatar adalah film revolusioner.

Membawa wajah perfilman kepada suatu level baru, dengan tantangan yang baru pula.

Speaking of that, hal ini bukan hanya terjadi kali ini saja.

Watch 2001 : a Space Odyssey, and see what Stanley Kubrick did in 1968.

You will not believe, that the film was made in that time.

And no, Avatar is no 2001. Can't beat the genius.


Secara keseluruhan, Avatar adalah film yang memuaskan dalam banyak hal. Top notch visual effect, great story, makes one of the best cinematic experience.

Salah satu film terbaik tahun ini.


Hehehe,.


Ciao.

My Early Words #4 District 123 Cin(T)a

My Early Works Foreword


Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.

Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.

Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.

Hehehe.

Anyway, here it is. Enjoy!


21 Agustus 2009.


Hahaha.
Sampai saat ini, mungkin note ini yang paling bacot.
Karena itu, saya katakan saja Spoiler Alert! dari awal.

Okay, first of all, buat yang males baca, udah ga usah baca aja sekalian.
Atau yang mau baca salah satu film saja, silahkan.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.


DISTRICT 9.

Ketika saya membaca tentang film ini di Cinemags, tentang bagaimana sang Peter Jackson bisa tertarik dengan Neil Blomkamp, saya penasaran, apa yang bisa membuat Peter Jackson tertarik.
Lalu saya melihat short movie cikal bakal District 9, 'Alive in Joburg' di Youtube.
Saya lalu (dengan soktahu) mengerti kenapa Peter Jackson tertarik dengan Neil Blomkamp.
Alive in Joburg adalah salah satu film pendek yang impresif, dan memiliki banyak potensi untuk dibuat versi panjangnya.
Peter Jackson ingin, dan sekaligus penasaran, seperti apakah jadinya jika film pendek tersebut dapat tayang di layar lebar.

Dan saya katakan ini, District 9 adalah perwujudan film sci-fi yang telah berevolusi, keluar dari kungkungan film-film dengan alien, memiliki layer, dan tidak Hollywood (okay, mungkin sedikit).

Film sci-fi documentary action ini, bersetting di Johannesburg, Afrika Selatan (Ha! Bukan New York, Los Angeles, atau kota apapun yang menjadi pilihan narsisistik Amerika).
Di sini kita disuguhkan keadaan kota di Afrika Selatan, yang dengan aksen dan budayanya, menunjukkan kita suatu kota di salah satu tempat di muka bumi ini yang jarang terekspos.
Apa yang kita dapatkan? Suatu realitas yang tidak dipaksakan.

Alien yang ada di District 9 tetap tidak jauh berbeda dengan bentuk alien di film-film lain.
Tapi, visual effect yang digunakan amat sangat baik untuk film dengan bujet $30M.
Adegan action, robot dan senjata yang ada pun ditampilkan dengan menyenggol fantasi seorang anak laki-laki. Cool and fun.

Untuk akting, saya memberikan nilai tinggi kepada Sharlto Copley yang bermain menjadi Wikus van der Merwe, yang memulai debut film panjang pertamanya dengan fim ini.
Ia berhasil membawakan karakternya dengan baik, bahwa biarpun ia seorang yang mudah termakan emosi dan gemar berkata kasar (dengan aksen yang lucu malah), saya masih merasa simpati kepadanya, saya ingin dia hidup, saya ingin dia bertemu kembali dengan istrinya, saya ingin dia berhasil membawa perbedaan kepada ras alien yang tertindas. I'm rooting for him.

Mari kita lupakan saja pertanyaan tentang bagaimana Wikus bisa mengerti (atau seakan mengerti) apa yang dikatakan Prawn (mungkin ada Kamus Saku 500.000 kata Prawn-English yang dijual di bus-bus Johannesburg dengan harga terjangkau yang lebih murah dibanding yang dijual di toko buku), dan pertanyaan2 lain dan plot holes yang timbul seputar alien.

Untuk hal-hal lain, seperti score, film ini memiliki score yang mendukung mood, baik itu saat adegan action atau adegan drama yang menyayat hati.
Sudut pandang kamera yang berpindah dari dokumenter dan biasa, memberikan tontonan yang unik tapi tetap enjoyable.

Satu hal lagi, seperti bawang, film ini memiliki layer, yang biasanya jarang terdapat pada film-film sci-fi dan action.
Kekuatan film ini tidak berasal dari Alien dan adegan actionnya, tetapi dari subtext yang diangkat Neil Blomkamp, yang mungkin ia ketahui ketika melewatkan masa kecilnya di Afrika Selatan.
Apartheid.
Neil Blomkamp tidak berusaha menyuguhkan isu Apatheid dengan dialog politik panjang lebar yang dibawakan oleh pria buncit paruh baya berkemeja, tetapi ia menggunakan medium yang fun dan bisa dinikmati khalayak ramai, Alien in Action.
Kita bisa menvisualisasikan hanya karena perbedaan, bagaimana sebuah kelompok dipisahkan dari masyarakat, dianggap makhluk kelas dua, dan nyawa yang mereka miliki dianggap kurang berharga.

Quote favorit saya adalah
Christopher Johnson : "Kooerk aaoght ogqogq euygxeuygsm".
Hehehe.

Overall, film ini adalah film one of a kind yang memiliki elemen sci-fi, originalitas, satir yang dijadikan satu dengan hasil yang tetap fun dan enjoyable.
Can't wait to see more of next Neil Blomkamp's.


THE TAKING OF PELHAM 123.

Saya selalu menikmati film-film kolaborasi Tony Scott - Denzel Washington.
Jadi ketika saya mengetahui bahwa ada film kolaborasi mereka yang akan keluar, saya tentu berharap bahwa saya akan dipuaskan.

Tony Scott (bersama saudaranya Ridley Scott) adalah sutradara yang meiliki kekhasan tersendiri.
Kekhasannya terletak pada sudut pandang kamera, dan editannya.

Saya selalu menyukai akting Denzel Washington. Ia selalu berhasil membawakan karakter yang ia perankan dengan baik. Dan ia membawakan karakternya dengan caranya yang elegan dan dengan kekhasannya sendiri.

The Taking of Pelham 123 sendiri diangkat dari sebuah novel, dan telah dibuat versi layar lebarnya sebanyak dua kali. Besutan Tony Scott kali ini adalah remake yang ketiga.

Ketika menonton film ini, saya disuguhkan dengan tipe pengambilan gambar ala Tony Scott, akting mumpuni Denzel, akting cukup John Travolta (mungkin dia memakai kacamata untuk menutupi kekurangan aktingnya), adegan layaknya film action Hollywood, setting layaknya film action Hollywood, cerita layaknya film action Hollywood, dll.

It's fun, though.
The Taking of Pelham 123 memberikan saya suatu hiburan dengan visualisasi kamera dan editan Tony Scott yang menyenangkan.
Alur cerita yang berjalan pun dibuat tetap cepat dan intens (dengan penunjuk waktu sekian minutes remaining).
Dialog antar Ryder-Garber yang teasing each other, menyimpan amarah, menggali sisi kemanusiaan, membuat saya duduk manis dan mendengarkan.
Plot dan karakterisasi yang ada juga 'hampir' terperangkap dalam jerat stereotype, tetapi tetap menarik dan believeable.

Still, there's a but.
Jika dibandingkan dengan film-film Tony Scott - Denzel Washington sebelumnya, seperti Man on Fire dan Deja Vu, saya seperti disuguhkan suatu buku dengan sampul yang berbeda.
Eh salah, buku yang berbeda dengan sampul yang sama. (Kan ceritanya beda, visualisasinya saja yang sama)
Tidak ada sesuatu yang baru yang signifikan yang dapat saya temukan.
Suatu eksekusi yang disayangkan, tidak ada sesuatu yang benar-benar menonjol dan fresh, sehingga membuat film ini dianggap sebagai 'Another Tony's and Denzel's movie'.

Quote favorit saya adalah
Walter Garber : "I didn't do it."

Overall, film ini menyajikan suatu rangkaian cerita dan action yang menarik, memanjakan mata, dan membuat kita tetap mencengkeram pegangan tempat duduk bioskop.
A fun, and entertaining movie.


CIN(T)A.

First encounter saya dengan film ini adalah ketika beberapa bulan lalu kakak saya mengirimkan message lewat facebook yang berisi trailer film ini.
Saya pun melihatnya. First impression saya adalah, film ini adalah salah satu film yang muncul akibat ketidakpuasan dengan keadaan perfilman Indonesia. Dan apakah film ini dieksekusi dengan baik?
Pertanyaan itulah yang menggantung dalam pikiran saya.

Lalu ketika saya mengikuti workshop film dari LA-Lights, sutradaranya hadir dan menjadi salah satu pembicara, sekaligus menampilkan behind the scenes dalam rangka mempromosikan fim ini.
Dugaan saya yang mengira film ini adalah film biasa meleset, film ini adalah film indie, yang dibuat oleh sutradara yang tidak memiliki latar belakang pendidikan film, pemeran utama yang debut aktor dan aktris, dan dana yang indie, yang pas-pasan.

Pandangan saya berubah, tapi pertanyaan saya tetap sama, Apakah film ini dieksekusi dengan baik?

Pertanyaan saya muncul bukan karena sutradara dan pemerannya adalah debutan film panjang, tetapi karena tema, isu, dan kegalauan sosial yang diangkat.

Film ini mengisahkan tentang cinta segitiga antar laki-laki Cina Katolik, perempuan Jawa Muslim, dan (T).

Film ini saya katakan benar-benar mengambil resiko.
Bukan resiko karena masalah ras dan agama. (Yah, itu juga mungkin resiko juga sih.)
Tetapi, resiko menjadikan film ini sebagai dialog pribadi yang dangkal.

Dengan tema yang diangkat, film ini seperti berjalan di tepi jurang, bisa jatuh ke dalam jurang dialog yang dangkal, terkesan berat tetapi tak berisi, terkesan menyindir dan menyadarkan tetapi tidak mengena, dll.
Di tangan yang salah, film ini bisa jatuh dalam hal-hal tersebut.

Tetapi, hal yang saya takutkan tidak terjadi.
Film ini berhasil hadir dengan dialog-dialognya, pertanyaan-pertanyaannya, tanpa menggurui, tidak memojokkan salah satu agama atau ras, mengembalikan kepada kita sendiri interpretasi film ini dan menyisakan pertanyaan pada diri kita sendiri.
Bravo.

(Yah, walaupun ada beberapa dialog berbahasa Inggris yang agak ganjil terdengar, tetapi maksudnya baik. Tetep oke kok. Hehehe.)

Untuk akting, film ini hanya di lead oleh 2 orang pemeran utama dan satu-satunya.
Sunny Soon sebagai Cina dan Saira Jihan sebagai Annisa.
Sunny Soon bermain sangat baik dalam memerankan karakternya sebagai seorang Cina Katolik yang periang, banyak omong, senang mengejek, tetapi tetap cerdas dan memiliki principle.
Saira Jihan bermain cukup baik sebagai perempuan Jawa Muslim, yang murung, ayu (atau malas?), butuh pertolongan, butuh seorang yang menyadarkan dan membimbingnya.

Fun fact : film ini sama sekali tidak menunjukkan muka / wajah / tampak depan para figuran atau pemeran pembantu.
Film ini didominasi oleh Cina dan Annisa, dengan porsi adegan close-up yang cukup banyak.
Yang laen off-frame dah. Hehehe.

Film ini bersurasi 79 menit. Tetapi tidak terasa singkat atau terlalu lama.
Walaupun sekitar 20/15 menit akhir, alur cerita agak terasa diulur-ulur dengan banyak menampilkan adegan non dialog.
Beberapa adegan humor yang ada pun terasa mengena. (Silet. Ha Ha !).
Jalan cerita yang ada (dan dengan selipan kesaksian-kesaksian yang menurut saya terasa oke dan unik), tetap hadir dengan menarik.

Kekurangan yang ada pun, dari faktor suara yang kurang bersih, beberapa score yang kurang pas dan agak cheesy, dan faktor teknis yang lain, walaupun terasa, tetapi menurut saya hanyalah masalah dana yang mencekik.
Ini indie coy. Hahaha.

Quote favorit saya adalah
Cina : "Bah, maket itu?"
Sebuah konfrontasi awal antara Cina dan Anisa, yang masih menyisakan karakter awal kedua tokoh tersebut (Cina yang langsung kabur dan Annisa yang malas memungut).
Tetapi menjadi sebuah turning point awal (Cina yang membetulkan maket yang ia rusakkan, dan Annisa yang mau menerima Cina setelah sebelumnya mengacuhkan Cina yang meminta tandatangan saat Ospek.) Haha.

Overall, film ini merupakan suatu hasil buah pikir idealis yang belum terkontaminasi, yang hadir dalam suasana indie yang kental.

Akhir kata, sebelum mengakhiri note (apa essay?) ini, mengambil contoh salah satu percakapan antara Cina dan Annisa, (kata-katanya sih kaga kayak gini, tapi intinya sama lah)
"Generasi muda Indonesia adalah generasi yang menyerap filosofi dari film".
Karena itu, Maju terus Perfilman Indonesia.


Capek gw.

Hehehe.

Ciao.

My Early Words #3 Merantau

My Early Works Foreword

Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.
Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.
Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.
Hehehe.
Anyway, here it is. Enjoy!

8 Agustus 2009.

Sudah lama saya tidak menulis muntahan segar saya terhadap suatu film.
Akhirnya saya punya bahan juga.
Saya jadi khawatir, jangan-jangan di dalam diri saya muncul panggilan untuk menulis.
Halah.
Saya juga jadi ingin punya blog.
Di waktu mendatang mungkin. We'll see.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.

Tulisan saya kali ini, adalah yang pertama kalinya saya membahas tentang film Indonesia.
Kenapa yang pertama?
Ya jelas dan jujur saja, sampai saat ini film Indonesia yang layak tonton, masih tergolong sedikit.
Lah kan, Januari kemaren ada Pintu Terlarang, kenapa ga ditulis?
Belum nafsu nulis. Hahahaha.
Sudah ah, jadi ngelantur.

Keinginan saya untuk menonton Merantau, muncul ketika saya menghadiri screening film Dara.
Ketika itu, sutradara Dara dan upcoming Macabre, Timo dari Mo Brothers, berkata bahwa nanti akan ada film action Indonesia yang disutradarai oleh temannya, dan yang saya kutip, ia berkata "Tu film bakal canggih."
Kebetulan Merantau dibahas di Cinemags. Dan setelah saya membacanya, memang terlihat seperti film yang menjanjikan.

Lalu saya melihat trailernya. Enjoyable sekali trailernya. "This is Silat." Yooooiiiiii. Hahahahaha.

Sebelum Merantau, saya hampir lupa keberadaan film action Indonesia.
Terakhir yang saya ingat, mungkin Ekspedisi Madewa. Itu pun tidak saya tonton.
Jadi film ini bisa dibilang, menjadi kebangkitan dari film action Indonesia.
Karena itu saya banyak menaruh harapan pada Merantau.

Setelah saya menonton Merantau, saya berani berkata, bahwa saya puas dengan film action ini.
Apa yang saya harapkan dari Merantau, semuanya terbayar dengan baik.

Film ini di awali dengan menunjukkan kepada kita, keadaan sebuah keluarga di Minangkabau.
Kita diajak mengenal tradisi daerah tersebut, dan pencak silat harimau khas Minangkabau.
Suatu keputusan yang bagus menurut saya, yang diambil oleh sang sutradara, untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia tersebut kepada masyarakat Indonesia sendiri, dan masyarakat mancanegara, sehubungan dengan dikutsertakan film ini di festival film di luar negeri.

Lalu, setelah alur cerita berjalan dan berpindah setting di Jakarta, kita diajak untuk melihat Jakarta dari sisi gelapnya, membuat suatu sindiran kepada ibukota negara ini.

Sekitar satu jam dari durasi awal, alur cerita memang terasa agak lambat, sehubungan dengan pengenalan dan pendalaman karakter, serta motif utama tokoh protagonis.
Dan, setelah itu, seperti yang para penonton inginkan, alur cerita pun berjalan cepat dengan adegan-adegan action.

Salah satu saya sukai dari film ini adalah, sudut pandang kamera dan cara pengambilan gambarnya.
Ada pergerakan perspektif di beberapa adegan, yang mebuat film ini menjadi tidak standar.
Dari divisi score, saya cukup senang dengan score yang ada, berhasil membangun mood, dan di awal film, ada score yang berbau minang. Suatu hal yang positif.

Adegan action di film ini, patut saya acungkan jempol.
Koreografi yang ditampilkan, kreatif dan tidak monoton. Pengambilan adegan actionnya juga tidak seperti film-film action luar negeri yang terdiri dari potongan-potongan gambar-gambar close-up, tetapi menampilkan adegan action full-shot, terlihat dari kaki sampai kepala. Memberikan para penonton suatu gambaran perkelahian yang jelas.

Dari segi akting, tidak ada yang tampil menawan. Suatu hal yang bisa berakibat lebih fatal di genre lain, tetapi di genre action, memang bukan segi akting yang ditonjolkan.
Akting Iko Uwais, untuk orang yang berprofesi sebagai non-aktor, bisa dibilang cukup baik.
Akting terbaik, saya jatuhkan kepada Christine Hakim.

Film ini juga bukan berarti tanpa kekurangan. Masih banyak hal yang perlu diperhatikan.
Di sana sini masih banyak bloopers atau plot holes, serta efek darah yang masih terlihat murahan.
(Heh Gareth Evans, belajar donk sama temen lo, si Mo Brothers, manteb tuh darah-darahan mereka)
Saya tidak berkata maklum, karena sudah 'habis jatah' maklum saya terhadap film Indonesia.

Overall, film ini saya anggap berhasil membawa kembali genre action di tanah air kita. Film ini juga menjadi salah satu dari beberapa film Indonesia yang menjanjikan di tahun 2009.

Maju terus perfilman Indonesia.

Hehehe.

Ciao.

My Early Words #2 Public Enemies

My Early Works Foreword

Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.

Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.

Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.

Hehehe.

Anyway, here it is. Enjoy!


22 Juli 2009.


Akhirnya.
Hahaha.
Iya ni, setelah hampir putus asa menunggu dan pasrah, akhirnya Public Enemies keluar juga.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.

Hhmm...

Terus terang, ekspektasi saya terhadap Public Enemies bisa dibilang cukup tinggi.
Banyak faktor yg menjadi alasan saya, yaitu Johnny Depp, Michael Mann, Christian Bale, dan Marion Cotillard.

Nama-nama tersebut merupakan nama-nama kuat, yg jika bersatu dan bergabung, maka akan membuat orang mengira-ngira, seperti apakah film yang akan dihasilkan.
Michael Mann terkenal dengan Collaterall dan Heat.
Johnny Depp terkenal dengan akting eksentriknya.
Christian Bale terkenal dengan Batman.
Marion Cotillard terkenal dengan oscarnya pada La Vie en Rose, dan dia juga membintangi Love Me If You Dare, salah satu drama/comedy/romance Prancis yang segar dan unik.

Wow.

Dan mereka bergabung dalam Public Enemies.
Johnny Depp berperan sebagai Joh Dillinger, seorang perampok kawakan.
Christian Bale berperan sebagai Melvin Purvis, seorang agen Investigasi Federal.
Marion Cotillard berperan sebagai Billie Frechette, love-interest John Dillinger.
Dan tentu saja saya mengharapkan suatu film yang hebat, dan akting yg mumpuni.

Sayang sekali, hal itulah yang membuat film ini kurang maksimal.
Film ini seakan tidak mampu menyaingi atau tenggelam dalam nama-nama besar pemain-pemainnya.
Seakan-akan, 'Ah, yang bikin sama yang maen udah oke, santay aja lah, ntar juga bagus sendiri'.

Saya tidak berkata film ini buruk, saya hanya mengatakan, film ini masih banyak menyisakan potensi yang seharusnya bisa ditampilkan oleh orang-orang yang terlibat dalam film ini.
Film ini sendiri, bagi saya, masih masuk dalam kategori film yang bagus. Good, but not great.

Dari segi cerita, film ini sudah berhasil menampilkan cerita sesuai fakta dan setia kepada penokohan aslinya, tidak dibawa ke arah Hollywood.
John Dillinger ditampilkan sebagai perampok yang dingin, dengan kecintaannya dalam merampok melebihi cintanya terhadap pasangannya, Frechette. Michael Mann setia terhadap fakta, menampilkan mereka sebagai dua orang yang seakan tidak pernah bersatu, dan tidak berusaha membuat kisah kedua orang tersebut layaknya kisah-kasih pasangan Hollywood.
Melvin Purvis ditampilkan sebagai agen federal yang dingin, pintar, disiplin, dan efektif dalam memburu sasarannya. Tetapi sayang sekali, pendalaman karakter Melvin Purvis kurang begitu tergali, dengan alasan 'kalah porsi' dengan Dilinger.

Dalam hal akting, menurut saya, tidak ada yang tampil outstanding, Johnny Depp bermain baik, Marion Cotillard bermain baik, dan Christian Bale bermain cukup baik, dan mungkin akan lebih baik jika dia menghilangkan sisa-sisa growl Batman.

Ada satu hal, yang membuat saya ragu-ragu, apakah ini merupakan kekurangan atau justru disengaja oleh sang pembuat film, yaitu pergerakan kamera.
Pengambilan gambar dalam film ini banyak yang menampilkan shot-shot yang diambil secara handheld, sehingga menampilkan gambar yang tentu saja tidak steady, namun shaky.
Teknik pengambilan gambar seperti itu biasanya muncul pada adegan action, untuk memberi kesan 'chaos', tetapi dalam film ini, tidak sedikit adegan non-action yang menggunakan teknik ini.
Terkesan disengaja, tetapi untuk apa? Saya juga masih belum menemukan maksud dari sang kreator.

Hal lain lagi yang menjadi sorotan saya, yaitu soundtrack, score dan sound effect.
Soundtrack dalam film ini, lagu-lagu lama yang terasa sangat pas, dan enjoyable.
Score dan sound effect menurut saya, agak kurang berhasil membangun mood.
Score-nya sendiri cukup minim, dan dalam hal ini, minim bukan berarti buruk, (dalam No Country for Old Man, score minim memang tepat dan yang terbaik untuk filmnya sendiri) namun banyak adegan yang menurut saya perlu didramatisasi dengan score yang tepat.

SPOILER ALERT!
Hehehe,.

Menurut saya, adegan dimana semua orang yang terlibat bekerja maksimal, adalah adegan ending dimana John Dilinger ditembak.
Adegan tersebut adalah adegan terbaik dalam film ini.

Special mention saya berikan kepada senjata Tommy Gun, karena saya pribadi menyukai senjata ini.
Hehehe.

Quote favorit saya jatuh kepada lines yang terdapat di film yang disaksikan John Dillinger, berjudul Manhattan Melodrama. Singkat kata, quote dari film dalam film.
"Die like you live: all of a sudden." Clark Gable.

Overall, film ini layak untuk ditonton, menyajikan kita suatu tontonan yang cukup berkelas, tetapi, seperti yang sudah saya singgung diatas tadi, film ini terhenti pada good, but not great.

Hehehe.

Ciao.

My Early Words #1 Half Blood Prince

My Early Works Foreword

Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.

Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.
Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.
Hehehe.
Anyway, here it is. Enjoy!

17 Juli 2009.


Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.


Saya tidak akan menulis spoiler alert, karena ga guna juga, kan bukunya udah dibaca banyak orang.

Hehehe.

Hhmm....


Saat saya menulis notes ini, feeling saya terasa ganjil.

Ternyata setelah diusut-usut, saya akhirnya menyadari, bahwa notes ini tidak akan sama seperti notes2 saya yang membahas film.
Apanya yang ga sama? Kaga bisa gw kata-katain.
Hahahahaha.

Iya ni, ga asik memang, tapi saya harus mengakui bahwa installment keenam Harry Potter ini bisa dibilang cukup bagus.


Sebelumnya saya belum pernah loh, menonton film Harry Potter di bioskop, saya selalu menonton di vcd, dvd, atau donlotan. Hehehehe.

Dan selama saya menonton kelima seri pertama, saya berpikir bahwa sah-sah saja saya tidak menonton di bioskop, toh film2nya memank biasa saja.

Seri buku Harry Potter saya anggap memang sangat hebat, karena kekuatan dari seri ketujuh bukunya, film2nya bisa dibilang antikritik.

Karena apapun yang kritikus katakan, jelek lah, bagus lah, bodoh lah, atau apapun, tidak akan mempengaruhi penghasilan filmnya.
Suatu hal yang amat ingin dimiliki oleh para studio dan produser film, yaitu adanya kepastian bahwa kedelapan filmnya pasti akan laku.

Mari kita kesampingkan pikiran-pikiran miring klasik, seperti "Ah, bagusan bukunya" atau "Di bukunya begini, masa tadi filmnya begini", dsb.

Film dan buku merupakan suatu hal yang berdiri sendiri. Jangan dibandingkan.

Di seri keenam film Harry Potter ini, bagi saya merupakan suatu mata rantai yang penting dari keseluruhan cerita Harry Potter.

Seri keenam ini, merupakan bagian untuk menciptakan fondasi, memberikan motif, sebelum beranjak ke bagian akhir cerita Harry Potter.
David Yates menyadari hal ini, dan berhasil memberikan itu semua.Di film ini, penonton disuguhi sebuah pendekatan yang berbeda dari seri2 sebelumnya,
Kalau di film 1-4, kita diberikan hiburan Harry Potter vs Voldemort, dan yang ke 5 kita diberikan suatu tragedi.
Di seri ke 6 ini, kita disuguhi sebuah pendalaman karakter dari tokoh2 penting, seperti Harry dkk, Malfoy, Snape, dan Voldemort yang hebatnya dilakukan tanpa menampilkan Voldemort dewasa.
Elemen2 lain, yang dianggap kurang penting dan hanya bersifat menghibur, dihilangkan atau dikurangi porsinya, seperti Dudley dan keluarganya, Quidditch, Teman2 Harry, dll.
Momen2 penting dalam cerita juga lebih dimaksimalkan.

Nuansa kelam yang dibangun oleh David Yates di film ini, terasa dengan baik, tidak seperti film2 sebelumnya.

Gambar yang ditangkap juga ditampilkan dengan indah dan mengesankan.
Seperti adegan Death Eater terbang mengelilingi kota London yang memberikan kesan fun, keadaan sekitar kereta Hogwarts yang mirip seperti gurun (bukan pepohonan seperti film2 sebelumnya), sehingga memberikan tone 'mati', dan kesan bahwa film ini berbeda dengan film2 sebelumnya, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Untuk divisi akting, saya pribadi masih memberikan nilai tertinggi kepada Helena Bonham Carter yang memerankan tokoh Bellatrix Lestrange, dan juga kepada Alan Rickman sebagai Severus Snape.

Dan untuk tokoh2 lain, tidak ada yang tampil buruk, semuanya memerankan tokohnya sebagaimana mestinya.

Kekurangan yang saya rasakan adalah, ending yang kurang dimaksimalkan.

Saya tidak berkata bahwa endingnya buruk, maksud saya adalah seperti ini:
Klimaks yang ada ketika mendekati penghujung cerita, sudah ditampilkan dengan sangat baik, mampu memainkan emosi penonton, dan ketika emosi penonton masih berada di atas, resolusi / ending yang muncul biasa saja.
Padahal, dengan memaksimalkan endingnya, sehingga membuat klimaks dan ending sama-sama baik, dapat membuat hasil akhir yang berbeda, yang lebih baik, hasil akhir yang mungkin bisa membuat penonton memberikan standing applause.

Quote favorit saya adalah:

(Singing) "I killed Sirius Black, I killed Sirius Black." Bellatrix Lestrange, Helena Bonham Carter.

Overall, sampai saat ini, bagi saya film ini adalah yang terbaik dari saga Harry Potter.


Hehehe.


Ciao.

Pintu Terlarang

Ya Ha !

Okay, ini adalah tulisan beler pertama gw. Hehehe.

Sebenernya gw mo nulis kata-kata pengantar dulu gitu, cuman ga kepikiran. Hahaha.

Jadi langsung aja deh. Hehehe.

Oh ya, Spoiler Alert!


Seperti biasa, tulisan-tulisan beler ini jangan dianggap review,.


Hehehe,.


Pintu Terlarang.


Director : Joko Anwar.


Cast : Fachry Albar, Marsha Timothy, Ario Bayu, Otto Djauhari.


Sinopsis : Gambir, adalah seorang pematung sukses yang mendapati istrinya merahasiakan sesuatu darinya: sebuah pintu berwarna merah di dalam rumah mereka sendiri. Ketika dia memutuskan untuk mencari tahu apa yang ada di balik pintu itu, hidupnya terseret dalam serangkaian misteri yang mengerikan.






Perkenalan pertama saya terhadap Joko Anwar, adalah melalui Janji Joni. Sebuah film komedi yang fun, dan terasa mengalir tanpa paksaan.

Saya kemudian langsung tertarik dengan gaya penyutradaraan Joko.

Setelah itu Joko membuat Kala. Film inilah yang menjadi titik balik bagi saya, yang membuat saya meletakkan namanya di belakang Stanley Kubrick sebagai sutradara favorit saya.


Kala merupakan suatu hasil dari upaya Joko yang mempersetankan realitas, membangun suatu dunia eskapis satir dengan memperjuangkan estetika sinematik.

Indonesia terlihat belum siap menerima, yang menjadikan Kala hanya singgah sebentar di bioskop-bioskop Indonesia, namun menarik perhatian di festival luar negeri.


Tentu saja saya lalu menantikan karya Joko berikutnya.

Dan dibuatlah Pintu Terlarang.


Ketika saya menonton Pintu Terlarang, saya disajikan suatu pengalaman menonton film yang berbeda dibandingkan film-film lain.

Joko membawa penonton memasuki wahana bermainnya, ke dalam dunia dimana Joko bertindak sebagai pemegang kuasa penuh.


Di awal film, opening credit Pintu Terlarang menggunakan animasi yang terinspirasi Saul Bass. Sungguh stylish, dengan musik yang indah. Seperti memberi petunjuk kepada penonton, bahwa Pintu Terlarang jauh berbeda kelas dengan film Indonesia yang lain.


Cerita Pintu Terlarang sekilas terlihat seperti film dengan banyak macam cerita. Tapi semuanya kembali lagi kepada intinya, yaitu drama-psikologis yang terbalut dalam genre film thriller / slasher.


Dengan berbasis novel karangan Sekar Ayu Asmara, Joko memodifikasi dan membuar skript dengan gayanya sendiri.

Premis utamanya adalah, “Apa yang akan kita lakukan, jika kita bisa memiliki semuanya, tapi kita dilarang untuk mencari tahu tentang sebuah rahasia?”

Hasilnya adalah cerita penuh misteri, dengan twist yang membuat banyak interpretasi, ditambah darah. Hehehe.


Tokoh utama di Pintu Terlarang, Gambir, adalah seorang pribadi yang selama hidupnya tidak pernah berjuang untuk mendapatkan sesuatu, selalu di provide oleh orang-orang di sekitarnya. Sampai suatu saat, dinding kesehariannya bergesekan dengan misteri tulisan ‘Tolong Saya’. Ia pun seperti keluar dari bubble yang mengelilinginya, dan mencari tahu apa maksud semua itu.


Kehidupan Gambir juga diwarnai dengan pekerjaan mematungnya, yang menggunakan janin bayi di dalam patung Maternal-nya.

Joko bisa saja menceritakan dengan biasa masa lalu Gambir, tetapi Joko lebih memilih perpindahan cerita maju mundur, dan Joko menampilkannya dengan halus, seperti tidak berpindah alur. Sebagai contoh, adegan Gambir mengambil janin di klinik. Hanya dengan berpindah kamera dari shot gambir di kursi pengemudi, ke Talyda di kursi penumpang, alur pun berpindah, menjadi flashback pertama kali Talyda menggugurkan kandungannya.


Fachri Albar di film ini tampil sesuai yang dibutuhkan, gesturenya menampilkan dengan baik seseorang yang tunduk kepada orang-orang di sekitarnya. Walau kadang-kadang dengan artikulasi yang kurang jelas. Dan rambut yang agak aneh. Hehehe.

Tapi secara keseluruhan, Fachri Albar berhasil membawakan karakter Gambir dengan baik.


Setting yang ada pada Pintu Terlarang, sungguh stylish. Divisi art Pintu Terlarang bekerja keras dengan hasil yang amat sangat baik. Saya menyukai eksterior gallery pameran Gambir (dengan hint proyek Joko berikutnya), suasana cafe serta eksterior kota (dengan billboard yang sungguh bukan Indonesia), dan interior ruangan-ruangan di Herosase.


Musik di film ini sungguh patut diberi pujian. Aghi Narottama sebagai Music Produser berhasil memberikan mood yang pas di setiap adegan. Pada adegan pameran patung Gambir, diisi soundtrack yang ‘high class’, sesuai dengan suasana orang-orang kaya berkumpul dan memberi patung mahal. Pada adegan Gambir berlari di pasar, diisi score yang pumped up, dan catchy. Dan masih banyak lagi score dan soundtrack tepat sasaran. Saya pribadi merekomendasikan album soundtrack dan score Pintu Terlarang.


Titik tertinggi Pintu Terlarang adalah pada adegan slashernya, pada bagian klimaks.

Joko memang tidak tanggung-tanggung, memvisualisasikan Bloody Christmas Dinner dengan adegan berdarah yang intens, frontal, tetapi tetap stylish. Darah menyembur kemana-mana (yang jika disaksikan versi bioskop agak dipotong, tetapi anda bisa menyaksikan darah menyembur ke kamera di DVD.), dengan cara eksekusi yang kreatif pula (pisau, sup, pecahan gelas, dan pistol).


Quote favorit saya adalah :

Romo : Neraka... Tidak ada.

Pria : Romo, neraka harus ada. Kalau neraka tidak ada, berarti surga juga tidak ada.


Secara keseluruhan, Pintu Terlarang adalah film yang bisa menyeimbangkan sisi estetika dan komersil. Sesuatu yang sulit dicapai sebuah film. Film ini juga menjadi oasis keringnya film-film bermutu di Indonesia. Hadir dengan banyak aspek yang dapat diunggulkan, seperti cerita, akting, musik, setting, dan masih banyak lagi.


Sampai saat ini, menurut saya, tanpa diragukan lagi, Pintu Terlarang adalah film Indonesia terbaik.


Hehehe,.


Ciao.

Kata Delano : Ada Yang Mau Bertanya?

Tadinya post ini gak pengen gw buat.

Cuman ya udah lah gw tulis aja.

Hehehe.


Cieee udah punya blog ni yee ceritanya. Gimana gimana rasanya?

Hahaha. Beler dah. Gw jadi kayak punya janji sama diri sendiri gini. Janji buat rutin nulis. Haduh. Waktu maen sama nonton tv series musti gw kurangin deh.


Lo rencananya mo nulis sesering apa?

Pengennya sih 1 film 1 tulisan beler 1 minggu. Itu maksimalnya dah. Moga-moga aja bisa gw sanggupi. Hehehe.


Kok blog lo norak si? Oren-oren eek gini? Ada pala orang ga jelas lagi.

Hahahaha. Sebenernya gw bingung mo kayak gimana. Pokoknya gw maunya ga ribet dan ga banyak cingcongnya.

Lalu blog gw di desain oleh Vedro El Citra yang udah mau merelakan waktunya diberi kerjaan ga jelas gini sama gw.

Vedro nya sih ga salah, gw nya yang beler. Kalo ga percaya liat aja blognya vedro di vedroelcitra.blogspot.com. Keliatan kan dia jago desain blog. Hehehe.

Gw pertamanya bingung mau kayak gimana. Trus gw mikir aja hal yang gw suka. Trus gw mikir Kubrick. Trus gw kepikiran Clockwork Orange deh.

Dan lahirlah warna orange, font Kata Delano, dan gambar kepala orang tsb.

Bodo amat deh aneh, yang penting gw suka. Hehehe.


Film-film kayak gimana sih yang bakal lo bahas?

Apa aja. Suka-suka gw. Hehehe. Bisa film jadul ato baru keluar. Bisa film Indonesia atau luar. Bisa film ‘emang-ada-yah?’ atau film yang udah ada gambarnya di tas sekolah bocah-bocah.

Pokoknya film apa aja. Yang pasti semau gw.

Cuman film bokep kayaknya engga deh. Ga nyampe otak gw. Hehehe.



Please do email me if you want to ask a question or share your thought, or anything, regarding my post.

delano.christovel@gmail.com

Kata Delano : Suatu Awal

Hai.

Hahaha.


Gw sebenarnya gak tau apa yang harus gw tulis di post pertama gw ini.

Yang gw tahu, gw harus menulis sesuatu.

Hehehe.


Kata Delano lahir dari dari keinginan saya untuk terus belajar.


Beberapa bulan lalu, saya mulai menulis tentang film di note facebook saya.

Pada awalnya note saya hanya berisi ejekan terhadapa sebuah film. Lalu entah kenapa, saya mulai menumpahkan apa yang ada di kepala saya tentang film.

And I really really enjoy that.


Dan banyak hal positif yang saya dapatkan dari menulis.

Dari cara saya menilai suatu film, memahami film, dan menanggapi film, semua itu terasa berbeda dengan sebelum saya mulai menulis.


Lalu saya memasuki masa dimana saya tidak lagi menulis. Kira-kira selama 2 bulan saya tidak menumpahkan isi otak saya.

Lalu ketika saya ingin kembali menulis, saya merasa tumpul.

Saya ingat, ada beberapa film yang ingin saya bahas, tetapi gagal dalam masa penulisan.


Tujuan utama blog ini sebenarnya berkaitan erat dengan ketidakmampuan saya membahas film.

Blog ini saya buat sebagai sarana agar saya terus mau menulis tumpahan pemikiran saya terhadap suatu film. Agar divisi film dalam otak saya tidak ‘idle’.

Kekuatan otak kita hanyalah sejauh kita mengasahnya.

Untuk itu, saya berusaha untuk dapat menepati komitmen saya kepada blog ini.

Untuk terus menulis secara rutin.

Ya, hanya itulah yang saya inginkan dari blog ini.

Agar saya terus menonton, terus menulis, dan terus belajar.


“I actually do not know what I want, but I know exactly what I do not want.”

Stanley Kubrick.


Sampai saat ini, saya belum memiliki tujuan jangka panjang dari penulisan blog ini.

Saya belum tahu apa yang saya inginkan di masa depan, berkaitan dengan adanya blog ini.

Yang saya tahu, saya harus terus menulis di blog ini.


Hehehe.


Ciao.