Kata Kata Beler tentang Inception


Inception



Hahaha.

Ini tulisan beler kedua gw tentang Inception. Yang pertama ada di sini.


Sebelumnya, Spoiler Alert! Lo udah diperingatkan. Kalo belum nonton, close aja page ini, kalo udah, terima kasih udah mau baca blog terlantar gw ini. Hahaha.

Enjoy!


Seperti biasa, tulisan-tulisan beler ini jangan dianggap review,.



Hehehe,.



Inception.


Kita semua sudah tahu, Christopher Nolan itu sutradara seperti apa. Filmography nya, Following, Memento, Insomnia, Batman Begins, dan The Dark Knight, speaks for it self.

Permainan plot dan kedalaman cerita menjadi kualitas utama film-filmnya.

Dan datanglah Inception. Film yang paling saya tunggu-tunggu tahun ini.


Extraction adalah pengambilan ide, dari pikiran seseorang. Inception adalah kebalikannya. Konsepnya cukup sederhana, namun setelah berangkat dari itu, tangan Nolan mulai bekerja.


15 menit pertama kita diajarkan, ‘Apakah Extraction itu?’

Setelah itu, roda penggerak film ini mulai digerakkan. Saito, powerful businessman, (Ken Watanabe), memberikan leading man film ini, Dom Cobb (played strongly by Leonardo DiCaprio, yang make-upnya membuat ia terlihat mirip dengan Nolan), meminta Cobb melakuakn Inception kepada rival bisnisnya, Fischer Jr., played by Cillian Murphy dengan bayaran, an offer Cobb can’t refuse.

Dom Cobb setuju, lalu ia dengan tangan kanannya, Arthur (played by the man who looks fuckin’ cool all the time, Joseph Gordon-Levitt), membuat tim untuk melakukan Inception.


Yang pertama mereka lakukan adalah, menentukan The Architect (sounds cool, eh?). Architect adalah orang yang merancang mimpi, tempat Cobb dkk (can I say Inceptor?) melakukan tugasnya, secara fisik. Architect merancang gedung, jalan, ruangan, dll, lalu menunjukkannya kepada dreamer, untuk dimimpikan.

Terpilihlah seorang perempuan (you know, sex diversity) bernama Ariadne, played by Ellen Page (can I get a Hallelujah?). Sebelum terjun ke pekerjaannya, ia di briefing dahulu oleh Cobb, or should I say, kita yang di briefing dahulu oleh Christopher Nolan.


Setelah menemukan The Architect, The Forger adalah sasaran selanjutnya. Terpilihlah Eames, played by Tom Hardy, with his witty English accent one-liner. The Forger adalah orang yang mengimitasi penampilan fisik, yang berfungsi untuk mempermudah jalan melakukan Inception.


Lalu dengan rekomendasi Eames, The Chemist pun mereka dapatkan. Yusuf, played by Dileep Rao (you know, ethnic diversity) mempunyai ramuan sendiri dalam sedative nya, ramuan yang cukup kuat untuk melakukan lebih dari 2 paralel mimpi.


Setelah itu, dengan bergabungnya The Tourist, yaitu Saito sendiri, untuk memastikan kesuksesan Inception, dimulailah misi mereka.

As they doing their mission, datanglah halangan dari proyeksi-proyeksi defensive mechanism nya Fischer. Crisis arises, and put the team on panic mode.


Motif menghancurkan rival bisnis, adalah motif yang kurang dalam, sehingga tumpuan utamanya terletak pada mental struggling dari karakter utama, Dom Cobb. (Terdapat pula sub-plot ayah dan anak pada Fischer)

Dom Cobb diceritakan menjadi orang yang bersalah secara hukum. Ia dituduh membunuh istrinya, Mal (Marion Cotillard), sehingga ia tidak bisa berada di negaranya sendiri, yang membuat ia terpisah dari anak-anaknya.

Istrinya sebenarnya bunuh diri, karena ketidakmampuan dalam menerima realitas sebenarnya.


Cobb dan istrinya bermain-main dengan kedalaman mimpi. Cobb mengeksplorasi mimpi di dalam mimpi, dan seterusnya, tanpa menyadari, konsekuensi ‘waktu’. Mereka membangun mimpi mereka, sampai pada akhirnya, mereka tersesat.

Realitas menjadi kabur. Mal lalu merasa ia tidak ingin kembali, dengan menyimpan ‘totem’nya. Cobb lalu melakukan inception pertamanya, ia menyiasati totem milik Mal, sehingga Mal setuju kembali ke realitas.

Tetapi, Inception tersebut tidak sempurna. Mal merasa realitasnya, bukanlah realitas yang sebenarnya. Ia pun bunuh diri demi mengejar realitas yang ia inginkan.


Hal ini menjadi sebuah rasa bersalah yang amat sangat besar dan mengakar dalam diri Cobb. Mengakibatkan ia harus menyimpan proyeksi istrinya, untuk mengenang kebahagiaannya, sekaligus mengingatkan sesuatu yang harus ia perjuangkan.



Nolan plays God in Inception. Enter the world of Nolan.


Inception, adalah fast-paced film, mengharuskan kita belajar cepat dari setiap frame yang ditampilkan. Tapi, Nolan memberikan kita petunjuk jalan selama film berlangsung. Dia tidak memberitahu secara blak-blakan, melainkan membimbing kita menikmati proses dalam mengerti film ini.


2 setengah jam, kita dimanjakan dengan visual yang indah. Ada banyak sekali hal-hal yang bisa kita nikmati. Mulai dari kota (paris dan mombasa) yang indah, max awesome slow-mo, etc.

Para pemain pun memberikan penampilan yang patut dipuji. Pemeran favorit saya selain Ellen Page (Ariadne), adalah Tom Hardy (Eames).

Menurut saya, ia menang tipis dalam Battle of The Bad-Ass, The Witty English Accent One Liner, Eames, versus The Fuckin’ Cool Kicking Ass in Zero Gravity, Arthur.

And the music, the pulsating and intense score, is from the master, Hans Zimmer. Bravo.

Nolan dalam Inception menyuguhkan jalan cerita yang multi-linear, tidak seperti Memento yang non-linear. Bukan hal yang baik atau buruk, tetapi lebih seperti pilihan, mainstream or not. Tetapi agak berbeda degan perkiraan saya, mind bender seperti Memento.

Entah kenapa menurut saya ini seperti campuran Eternal Sunshine of The Spotless Mind yang lebih kelam, dengan The Matrix.


Quote favorit saya adalah:

Cobb: “I miss you more than I can bear.”


Akhir kata, Inception adalah film dari si jenius Nolan, film yang memuaskan hampir dalam segala aspek, film yang tetap membuat anda terpaku di kursi penonton.


A mind-fuck film that keeps continues blowing your mind.


Hehehe,.


Ciao.


Inception


Kata-Kata Beler yang Full ada di sini, Kata Kata Beler tentang Inception.

Kalo udah nonton ke situ aja. Hehehe.



Inception



Here I am, sitting in front of my laptop, trying to write about Inception.


Fuck it, I ‘m just going to write as I like.


And here we go…


In Inception, Christopher Nolan isn’t just being the director. He plays God.



I want to keep this spoiler free, because, well you know, it’s Nolan, so that you can fully enjoy the film.


The story is about a dream invader, Dom Cobb, played by DiCaprio, failed to do his task, to extract an idea from Saito, played by Ken Watanabe.

After that, Saito, made an offer Cobb can’t refuse. Saito wants Cobb, not to extract, but to implant an idea to his business rival, Fischer Jr., played by Cillian Murphy.

Cobb and his work partner, Arthur (Joseph Gordon-Levitt) then assemble his own team that includes Ariadne (Ellen Page), Eames (Tom Hardy), and Yusuf (Dileep Rao). Each one of them is a specialist about something (you can figure out yourself) in this mission.


I think this is just as far as I can tell you about the plot. :)



In Inception, Nolan fucks the reality by creating his own.


When we watch Inception, understanding the plot is about process that we have to learn. A lot of layers that we have to dissects. We have to learn how, what, when, where, who, why. And I can assure you, Inception is NOT that hard to understand. The learning process is enjoyable. (Well, at least for me)

In this fast-paced film, what Nolan gave to his audience, is a concept about idea and dream. How an idea can be manipulated and a dream that can be constructed.

Nolan gives that concept, in his uniquely own way, which includes cool sci-fi action scenes.


On visual aspect, Nolan gave us a distorted yet beautiful reality. With lots of cool Slow-Mo, there are many action scenes that impossible to forget.

As we enjoy the action, we are forced to follow the plots movement, the change of the dream, and the change of perspective.


The actor and actress that played in Inception gave us much to enjoy. All of them played great bringing their own character.

And the music by Hans Zimmer, amazing! Minimalist original, kept the intensity of the film.


Bottom line, Inception is a mind-fuck film that keeps blowing your head.


Actually, I can’t write as much as I want about Inception. There’s too many risk of spoiler. So I think I’m just going to write another Inception review some other time. Hehehe.


Before I end this, I just want to thank Christopher Nolan, for bringing Inception to this world.


From the bottom of my heart, I thank you, Mr. Nolan.


Hehehe.


Ciao!


P.S. : Entar gw mo nulis lagi, kapan tau dah. Lebih banyak dan lebih ngebahas, kayak tulisan gw biasanya. Hahaha.

Up In The Air

Ya Ha!

Sorry ni udah ampir sebulan ga nge blog. Hehehe.

Mau nge blog ada aja halangannya.

Mulai dari laptop rusak lah, minggu-minggu UAS, urusan di kampus, dll.


Anyhoo, harusnya itu ga jadi alasan si.


Oke, film kali ini yang akan gw belerin adalah Up In The Air.


Hehehe,.


Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review.



Up In The Air.


Director : Jason Reitman.


Cast : George Clooney, Vera Farmiga, Anna Kendrick.


Saya tertarik dengan film ini karena, tentu saja, nominasi Best Picture di Academy Awards.

Saya semakin penasaran karena beragamnya tanggapan orang-orang yang saya tahu akan film ini.

Gw mulai berpikir, okay, mungkin ini tipe film love it or hate it.


Dan saya pun menonton film ini.


Up In The Air adalah sebuah komedi, dimana kita tertawa dengan rasa getir di dalam hati kita.

Film ini hadir, dengan segala ke-kaku-annya, menggendong sebuah sisi manusiawi seseorang, yaitu ketika seseorang dinyatakan tidak diperlukan / dihargai lagi di tempat ia menggantungkan dirinya selama ini.


Ryan Bingham, dimainkan dengan hebat oleh George Clooney, adalah seseorang yang hidup dengan gaya yang Amerika sekali. Ia punya pekerjaan, sebuah karir yang ia banggakan karena ia merasa yang terbaik dalam karirnya itu. Ia menikmati segala luxury yang ia dapatkan dari pekerjaannya itu. Ia membuang hal-hal yang menurut dia hanya akan menghambat laju pekerjaannya.


Salah satunya, ia membuang orang lain. Ia tidak mau memiliki relationship, apalagi menikah, ia tidak terlalu peduli dengan keluarganya sendiri. Hubungan dengan orang lain yang ia jalin hanyalah sekedar hubungan pekerjaan, atau hubungan ‘fun’ dengan seorang wanita.


Ironisnya, pekerjaan yang ia lakukan, seorang Career Transition Counsellor / Termination Facilitator, adalah sebuah pekerjaan yang dihadapkan dengan sisi lemah seorang manusia.


Dengan hidupnya yang seperti itu, ia dipertemukan dengan seorang fresh graduate bernama Natalie Keener, dimainkan oleh Anna Kendrick, yang memiliki ide baru untuk memecat orang. Sebuah ide yang mengancam pekerjaan Ryan. Sebuah ide yang saya rasakan, lebih tidak manusiawi.


Ryan pun ditugaskan untuk mengajari Natalie, seperti apa rasanya melakukan pekerjaan Ryan, menghadapi orang-orang yang akan dipecat.


Spoiler Alert.


And as the time goes, yang belajar lebih banyak adalah Ryan.


Dan ketika ia menyadari itu semua, ia berusaha membuat hidupnya lebih baik.


Apa yang ia dapatkan? Sebuah penolakan.


Ia malah kembali kepada apa yang selama ini ia jalani.


Up In The Air hadir dengan visualisasi yang kaku, dengan editing yang kurang dinamis, dan font nama-nama kota yang formal. Kaku, dan dingin seperti kehidupan Bingham.


Akting para pemain di film ini petut dipuji. Semuanya memberikan penampilan yang baik. Terlebih George Clooney. Saya merasa bahwa Ryan Bingham tidak dapat diperankan oleh aktor lain selain George Clooney. Atau hasilnya akan berbeda.


Salah satu hal yang saya sukai dari film ini adalah musiknya. I really enjoyed the music.


Quote favorit saya adalah:

Ryan Bingham : ” We are sharks.”

Mengingatkan saya pada quote dalam film Annie Hall.

Alvy Singer: “A relationship, I think, is like a shark. You know? It has to constantly move forward or it dies.”


Overall, mengutip dari Roger Ebert, Up In The Air adalah sebuah smart, edgy mainstream films. That's harder than making smart, edgy indies. Film yang pantas dinominasikan dalam Best Picture. Well deserved.


Winner? I don’t think so.


Hehehe.


Ciao.

Macabre / Rumah Dara

Hai. Udah lama nih gw ga nge blog.
Maklum liburan. Hehehe.
Tulisan saya kali ini merupakan oleh-oleh dari Opening INAFF 09.
Terima kasih banyak buat The Mo Brothers untuk invitation nya.

Dan untuk Provoke! yang ngasih gratisan buat nonton lagi tanggal 9 Januari 2010.
Hehehe.

Postingan saya kali ini sebenarnya adalah note yang sudah saya tulis di facebook dari November 09. Hanya tidak saya posting di sini, berhubung filmnya belum keluar.

Oh ya, saya lebih senang dengan Macabre. Bukan Rumah Dara atau Darah.
It sounds more Fun.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.

MACABRE.

Director : The Mo Brothers

Cast : Shareefa Danish, Julie Estelle, Sigi Wimala, Ario Bayu, Arifin Putra, Imelda Therinne, Ruly Lubis

Pertama kalinya hidup saya dimasuki The Mo Brothers adalah saat saya menyaksikan Dara di Workshop LA Lights. A satire slasher, great short movie, dan membekas di kepala saya.
Dan karenanya, saya menunggu film panjang The Mo Brothers, Macabre.

Macabre berkisah tentang sekelompok orang, yang terjebak dalam suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Seberapa tidak menyenangkannya, bisa anda lihat sendiri dalam filmnya.

Ceritanya memang tidak baru, tapi yang daya tarik terbesar dari film ini adalah, sampai sejauh mana The Mo Brothers berhasil mendorong batasan film dengan darah, di tanah air kita ini.

Dan saya katakan. The Mo Brothers are SICK!
Seperti kata Joko Anwar, "I have seen the future of horror. Their name is The Mo Brothers."

Macabre benar-benar suatu film yang menembus batas darah Indonesia, dengan mudah berhasil keluar dari kungkungan film horror kacrut Indonesia.

Macabre juga tidak semata-mata hanya mengeksploitasi dan bermain-main dengan darah dan potongan tubuh. Film ini berbicara tentang survival, dan bagian slasher dari film ini merupakan perpanjangan akibat dari cerita.

Darah yang muncul, hampir realistis, dan terasa seperti hal yang lumrah, dikarenakan frekuensi kemunculannya yang tinggi.

Setiap aktor/aktris yang muncul, berhasil membawakan perannya dengan impresif. Ekspresi keputusasaan, ketakutan, kelelahan, semuanya berhasil dibawakan dengan baik, sehingga penonton merasa percaya dengan mereka.
And btw, Joko Anwar jadi cameo di sini. Gantian dari The Mo Brothers yang jadi cameo di Pintu Terlarang.

Dan, sangatlah wajar jika Shareefa Danish behasil memenangkan Best Actress dalam Puchon Film Festival. Akting yang ia tampilkan memang sangat baik, ia berhasil membawakan peran Mother of all fear dengan ekspresi psychotic elegan yang seakan tidak pernah puas jika belum menghabisi korbannya. She's like a bulldog looking for blood. She's just going on, and on, and on, and on...

Make-up.
Bicara soal make-up film horror Indonesia, yang terlintas adalah hantu bedakan tempelan.
Tapi di Macabre, sangat sangat keren.
Make-blood para artisnya sangat realistis and enjoyable, entah itu mata lebam, muka terbakar, mandi darah, dll. Kemajuan hebat untuk film Indonesia.

The pieces.
Biasanya kita mudah saja membedakan dan memperhatikan bahwa potongan tubuh yang muncul dalam film, terlihat buatan. Macabre berhasil lepas dari itu, dan tidak seperti film lain yang hanya menampilkan sedikit shot dan cepat untuk potongan tubuh, segala bentuk hasil pemotongan dalam Macabre, ditampilkan dengan realistis dan tidak tanggung-tanggung. Love it. Hehehe.
*Ada sedikit perbedaan dengan yang rilis di bioskop Indonesia, ada beberapa bagian yang sedikit di edit. Namun, TIDAK mempengaruhi kualitas keseluruhan film.

You know what I like the most from Macabre?
It's how the killer treat their prey. How the killer try to kill.
They do that in the most possible creative way.

Now, I'm not gonna spoil on how Macabre does that, just save it for yourself until you watch it.
It's a 5 star entertainment.

Now, I hate to say this, tapi Macabre juga memiliki kekurangan.

Kekurangan yang saya rasakan pertama kali adalah, kurangnya pendalaman karakter pada 6 orang korban. Sangat disayangkan, karena hal itu membuat saya tidak bisa simpati sepenuhnya pada mereka. Saya kurang rooting kepada mereka. Saya menjadi hanya menikmati mereka dibunuh. Hehehe.

Lalu, ada beberapa hal kecil yang agak mengganggu saya.
Seperti para polisi yang datang. Terlihat kurang believeable. Apalagi dengan rompi salah satu anggota polisi, yang ditempel tulisan 'Polisi'. Dan juga mobil kijang kotak polisi dengan sirenenya.

Tapi saya percaya, berbagai kekurangan di film ini sebagian besar dikarenakan oleh budget produksi yang mencekik.

And btw, there's some little things that I found interesting.
Adanya proyektor yang memainkan roll film 8mm. Holland spreken nya Dara. Senjata yang dipakai Ladya untuk versus dengan chainsawnya Dara (you'll see what it is).
Hehehe.

Tokoh favorit saya adalah Arman. The Butcher.
Ia seperti perpaduan antara The Penguin dan Anton Chigurh with knife. Gendut, pendiam, tenang, and love to butch people.

Overall, Macabre adalah salah satu film terbaik Indonesia. Film yang berhasil membawa nama baik pada genre horror Indonesia. A fun, and entertaining blood trip. Love it.
Standing Ovation buat The Mo Brothers. Terima kasih telah menghadirkan film ini pada kancah perfilman Indonesia.

God Speed The Blood.

Hehehe.

Ciao.