My Early Words #3 Merantau

My Early Works Foreword

Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.
Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.
Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.
Hehehe.
Anyway, here it is. Enjoy!

8 Agustus 2009.

Sudah lama saya tidak menulis muntahan segar saya terhadap suatu film.
Akhirnya saya punya bahan juga.
Saya jadi khawatir, jangan-jangan di dalam diri saya muncul panggilan untuk menulis.
Halah.
Saya juga jadi ingin punya blog.
Di waktu mendatang mungkin. We'll see.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.

Tulisan saya kali ini, adalah yang pertama kalinya saya membahas tentang film Indonesia.
Kenapa yang pertama?
Ya jelas dan jujur saja, sampai saat ini film Indonesia yang layak tonton, masih tergolong sedikit.
Lah kan, Januari kemaren ada Pintu Terlarang, kenapa ga ditulis?
Belum nafsu nulis. Hahahaha.
Sudah ah, jadi ngelantur.

Keinginan saya untuk menonton Merantau, muncul ketika saya menghadiri screening film Dara.
Ketika itu, sutradara Dara dan upcoming Macabre, Timo dari Mo Brothers, berkata bahwa nanti akan ada film action Indonesia yang disutradarai oleh temannya, dan yang saya kutip, ia berkata "Tu film bakal canggih."
Kebetulan Merantau dibahas di Cinemags. Dan setelah saya membacanya, memang terlihat seperti film yang menjanjikan.

Lalu saya melihat trailernya. Enjoyable sekali trailernya. "This is Silat." Yooooiiiiii. Hahahahaha.

Sebelum Merantau, saya hampir lupa keberadaan film action Indonesia.
Terakhir yang saya ingat, mungkin Ekspedisi Madewa. Itu pun tidak saya tonton.
Jadi film ini bisa dibilang, menjadi kebangkitan dari film action Indonesia.
Karena itu saya banyak menaruh harapan pada Merantau.

Setelah saya menonton Merantau, saya berani berkata, bahwa saya puas dengan film action ini.
Apa yang saya harapkan dari Merantau, semuanya terbayar dengan baik.

Film ini di awali dengan menunjukkan kepada kita, keadaan sebuah keluarga di Minangkabau.
Kita diajak mengenal tradisi daerah tersebut, dan pencak silat harimau khas Minangkabau.
Suatu keputusan yang bagus menurut saya, yang diambil oleh sang sutradara, untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia tersebut kepada masyarakat Indonesia sendiri, dan masyarakat mancanegara, sehubungan dengan dikutsertakan film ini di festival film di luar negeri.

Lalu, setelah alur cerita berjalan dan berpindah setting di Jakarta, kita diajak untuk melihat Jakarta dari sisi gelapnya, membuat suatu sindiran kepada ibukota negara ini.

Sekitar satu jam dari durasi awal, alur cerita memang terasa agak lambat, sehubungan dengan pengenalan dan pendalaman karakter, serta motif utama tokoh protagonis.
Dan, setelah itu, seperti yang para penonton inginkan, alur cerita pun berjalan cepat dengan adegan-adegan action.

Salah satu saya sukai dari film ini adalah, sudut pandang kamera dan cara pengambilan gambarnya.
Ada pergerakan perspektif di beberapa adegan, yang mebuat film ini menjadi tidak standar.
Dari divisi score, saya cukup senang dengan score yang ada, berhasil membangun mood, dan di awal film, ada score yang berbau minang. Suatu hal yang positif.

Adegan action di film ini, patut saya acungkan jempol.
Koreografi yang ditampilkan, kreatif dan tidak monoton. Pengambilan adegan actionnya juga tidak seperti film-film action luar negeri yang terdiri dari potongan-potongan gambar-gambar close-up, tetapi menampilkan adegan action full-shot, terlihat dari kaki sampai kepala. Memberikan para penonton suatu gambaran perkelahian yang jelas.

Dari segi akting, tidak ada yang tampil menawan. Suatu hal yang bisa berakibat lebih fatal di genre lain, tetapi di genre action, memang bukan segi akting yang ditonjolkan.
Akting Iko Uwais, untuk orang yang berprofesi sebagai non-aktor, bisa dibilang cukup baik.
Akting terbaik, saya jatuhkan kepada Christine Hakim.

Film ini juga bukan berarti tanpa kekurangan. Masih banyak hal yang perlu diperhatikan.
Di sana sini masih banyak bloopers atau plot holes, serta efek darah yang masih terlihat murahan.
(Heh Gareth Evans, belajar donk sama temen lo, si Mo Brothers, manteb tuh darah-darahan mereka)
Saya tidak berkata maklum, karena sudah 'habis jatah' maklum saya terhadap film Indonesia.

Overall, film ini saya anggap berhasil membawa kembali genre action di tanah air kita. Film ini juga menjadi salah satu dari beberapa film Indonesia yang menjanjikan di tahun 2009.

Maju terus perfilman Indonesia.

Hehehe.

Ciao.

0 comments:

Post a Comment