My Early Words #4 District 123 Cin(T)a

My Early Works Foreword


Entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menampilkan tulisan-tulisan terdahulu saya di notes facebook, ke dalam blog ini.

Beberapa postingan baru ini, adalah tulisan-tulisan ketika saya baru mau dan berani menumpahkan pikiran saya ke dalam tulisan.

Saya hanya merasa agak ganjil saja jika tidak menaruh tulisan-tulisan ini ke dalam blog saya.

Hehehe.

Anyway, here it is. Enjoy!


21 Agustus 2009.


Hahaha.
Sampai saat ini, mungkin note ini yang paling bacot.
Karena itu, saya katakan saja Spoiler Alert! dari awal.

Okay, first of all, buat yang males baca, udah ga usah baca aja sekalian.
Atau yang mau baca salah satu film saja, silahkan.

Hehehe,.

Seperti biasa, tulisan2 beler ini jangan diangap review,.


DISTRICT 9.

Ketika saya membaca tentang film ini di Cinemags, tentang bagaimana sang Peter Jackson bisa tertarik dengan Neil Blomkamp, saya penasaran, apa yang bisa membuat Peter Jackson tertarik.
Lalu saya melihat short movie cikal bakal District 9, 'Alive in Joburg' di Youtube.
Saya lalu (dengan soktahu) mengerti kenapa Peter Jackson tertarik dengan Neil Blomkamp.
Alive in Joburg adalah salah satu film pendek yang impresif, dan memiliki banyak potensi untuk dibuat versi panjangnya.
Peter Jackson ingin, dan sekaligus penasaran, seperti apakah jadinya jika film pendek tersebut dapat tayang di layar lebar.

Dan saya katakan ini, District 9 adalah perwujudan film sci-fi yang telah berevolusi, keluar dari kungkungan film-film dengan alien, memiliki layer, dan tidak Hollywood (okay, mungkin sedikit).

Film sci-fi documentary action ini, bersetting di Johannesburg, Afrika Selatan (Ha! Bukan New York, Los Angeles, atau kota apapun yang menjadi pilihan narsisistik Amerika).
Di sini kita disuguhkan keadaan kota di Afrika Selatan, yang dengan aksen dan budayanya, menunjukkan kita suatu kota di salah satu tempat di muka bumi ini yang jarang terekspos.
Apa yang kita dapatkan? Suatu realitas yang tidak dipaksakan.

Alien yang ada di District 9 tetap tidak jauh berbeda dengan bentuk alien di film-film lain.
Tapi, visual effect yang digunakan amat sangat baik untuk film dengan bujet $30M.
Adegan action, robot dan senjata yang ada pun ditampilkan dengan menyenggol fantasi seorang anak laki-laki. Cool and fun.

Untuk akting, saya memberikan nilai tinggi kepada Sharlto Copley yang bermain menjadi Wikus van der Merwe, yang memulai debut film panjang pertamanya dengan fim ini.
Ia berhasil membawakan karakternya dengan baik, bahwa biarpun ia seorang yang mudah termakan emosi dan gemar berkata kasar (dengan aksen yang lucu malah), saya masih merasa simpati kepadanya, saya ingin dia hidup, saya ingin dia bertemu kembali dengan istrinya, saya ingin dia berhasil membawa perbedaan kepada ras alien yang tertindas. I'm rooting for him.

Mari kita lupakan saja pertanyaan tentang bagaimana Wikus bisa mengerti (atau seakan mengerti) apa yang dikatakan Prawn (mungkin ada Kamus Saku 500.000 kata Prawn-English yang dijual di bus-bus Johannesburg dengan harga terjangkau yang lebih murah dibanding yang dijual di toko buku), dan pertanyaan2 lain dan plot holes yang timbul seputar alien.

Untuk hal-hal lain, seperti score, film ini memiliki score yang mendukung mood, baik itu saat adegan action atau adegan drama yang menyayat hati.
Sudut pandang kamera yang berpindah dari dokumenter dan biasa, memberikan tontonan yang unik tapi tetap enjoyable.

Satu hal lagi, seperti bawang, film ini memiliki layer, yang biasanya jarang terdapat pada film-film sci-fi dan action.
Kekuatan film ini tidak berasal dari Alien dan adegan actionnya, tetapi dari subtext yang diangkat Neil Blomkamp, yang mungkin ia ketahui ketika melewatkan masa kecilnya di Afrika Selatan.
Apartheid.
Neil Blomkamp tidak berusaha menyuguhkan isu Apatheid dengan dialog politik panjang lebar yang dibawakan oleh pria buncit paruh baya berkemeja, tetapi ia menggunakan medium yang fun dan bisa dinikmati khalayak ramai, Alien in Action.
Kita bisa menvisualisasikan hanya karena perbedaan, bagaimana sebuah kelompok dipisahkan dari masyarakat, dianggap makhluk kelas dua, dan nyawa yang mereka miliki dianggap kurang berharga.

Quote favorit saya adalah
Christopher Johnson : "Kooerk aaoght ogqogq euygxeuygsm".
Hehehe.

Overall, film ini adalah film one of a kind yang memiliki elemen sci-fi, originalitas, satir yang dijadikan satu dengan hasil yang tetap fun dan enjoyable.
Can't wait to see more of next Neil Blomkamp's.


THE TAKING OF PELHAM 123.

Saya selalu menikmati film-film kolaborasi Tony Scott - Denzel Washington.
Jadi ketika saya mengetahui bahwa ada film kolaborasi mereka yang akan keluar, saya tentu berharap bahwa saya akan dipuaskan.

Tony Scott (bersama saudaranya Ridley Scott) adalah sutradara yang meiliki kekhasan tersendiri.
Kekhasannya terletak pada sudut pandang kamera, dan editannya.

Saya selalu menyukai akting Denzel Washington. Ia selalu berhasil membawakan karakter yang ia perankan dengan baik. Dan ia membawakan karakternya dengan caranya yang elegan dan dengan kekhasannya sendiri.

The Taking of Pelham 123 sendiri diangkat dari sebuah novel, dan telah dibuat versi layar lebarnya sebanyak dua kali. Besutan Tony Scott kali ini adalah remake yang ketiga.

Ketika menonton film ini, saya disuguhkan dengan tipe pengambilan gambar ala Tony Scott, akting mumpuni Denzel, akting cukup John Travolta (mungkin dia memakai kacamata untuk menutupi kekurangan aktingnya), adegan layaknya film action Hollywood, setting layaknya film action Hollywood, cerita layaknya film action Hollywood, dll.

It's fun, though.
The Taking of Pelham 123 memberikan saya suatu hiburan dengan visualisasi kamera dan editan Tony Scott yang menyenangkan.
Alur cerita yang berjalan pun dibuat tetap cepat dan intens (dengan penunjuk waktu sekian minutes remaining).
Dialog antar Ryder-Garber yang teasing each other, menyimpan amarah, menggali sisi kemanusiaan, membuat saya duduk manis dan mendengarkan.
Plot dan karakterisasi yang ada juga 'hampir' terperangkap dalam jerat stereotype, tetapi tetap menarik dan believeable.

Still, there's a but.
Jika dibandingkan dengan film-film Tony Scott - Denzel Washington sebelumnya, seperti Man on Fire dan Deja Vu, saya seperti disuguhkan suatu buku dengan sampul yang berbeda.
Eh salah, buku yang berbeda dengan sampul yang sama. (Kan ceritanya beda, visualisasinya saja yang sama)
Tidak ada sesuatu yang baru yang signifikan yang dapat saya temukan.
Suatu eksekusi yang disayangkan, tidak ada sesuatu yang benar-benar menonjol dan fresh, sehingga membuat film ini dianggap sebagai 'Another Tony's and Denzel's movie'.

Quote favorit saya adalah
Walter Garber : "I didn't do it."

Overall, film ini menyajikan suatu rangkaian cerita dan action yang menarik, memanjakan mata, dan membuat kita tetap mencengkeram pegangan tempat duduk bioskop.
A fun, and entertaining movie.


CIN(T)A.

First encounter saya dengan film ini adalah ketika beberapa bulan lalu kakak saya mengirimkan message lewat facebook yang berisi trailer film ini.
Saya pun melihatnya. First impression saya adalah, film ini adalah salah satu film yang muncul akibat ketidakpuasan dengan keadaan perfilman Indonesia. Dan apakah film ini dieksekusi dengan baik?
Pertanyaan itulah yang menggantung dalam pikiran saya.

Lalu ketika saya mengikuti workshop film dari LA-Lights, sutradaranya hadir dan menjadi salah satu pembicara, sekaligus menampilkan behind the scenes dalam rangka mempromosikan fim ini.
Dugaan saya yang mengira film ini adalah film biasa meleset, film ini adalah film indie, yang dibuat oleh sutradara yang tidak memiliki latar belakang pendidikan film, pemeran utama yang debut aktor dan aktris, dan dana yang indie, yang pas-pasan.

Pandangan saya berubah, tapi pertanyaan saya tetap sama, Apakah film ini dieksekusi dengan baik?

Pertanyaan saya muncul bukan karena sutradara dan pemerannya adalah debutan film panjang, tetapi karena tema, isu, dan kegalauan sosial yang diangkat.

Film ini mengisahkan tentang cinta segitiga antar laki-laki Cina Katolik, perempuan Jawa Muslim, dan (T).

Film ini saya katakan benar-benar mengambil resiko.
Bukan resiko karena masalah ras dan agama. (Yah, itu juga mungkin resiko juga sih.)
Tetapi, resiko menjadikan film ini sebagai dialog pribadi yang dangkal.

Dengan tema yang diangkat, film ini seperti berjalan di tepi jurang, bisa jatuh ke dalam jurang dialog yang dangkal, terkesan berat tetapi tak berisi, terkesan menyindir dan menyadarkan tetapi tidak mengena, dll.
Di tangan yang salah, film ini bisa jatuh dalam hal-hal tersebut.

Tetapi, hal yang saya takutkan tidak terjadi.
Film ini berhasil hadir dengan dialog-dialognya, pertanyaan-pertanyaannya, tanpa menggurui, tidak memojokkan salah satu agama atau ras, mengembalikan kepada kita sendiri interpretasi film ini dan menyisakan pertanyaan pada diri kita sendiri.
Bravo.

(Yah, walaupun ada beberapa dialog berbahasa Inggris yang agak ganjil terdengar, tetapi maksudnya baik. Tetep oke kok. Hehehe.)

Untuk akting, film ini hanya di lead oleh 2 orang pemeran utama dan satu-satunya.
Sunny Soon sebagai Cina dan Saira Jihan sebagai Annisa.
Sunny Soon bermain sangat baik dalam memerankan karakternya sebagai seorang Cina Katolik yang periang, banyak omong, senang mengejek, tetapi tetap cerdas dan memiliki principle.
Saira Jihan bermain cukup baik sebagai perempuan Jawa Muslim, yang murung, ayu (atau malas?), butuh pertolongan, butuh seorang yang menyadarkan dan membimbingnya.

Fun fact : film ini sama sekali tidak menunjukkan muka / wajah / tampak depan para figuran atau pemeran pembantu.
Film ini didominasi oleh Cina dan Annisa, dengan porsi adegan close-up yang cukup banyak.
Yang laen off-frame dah. Hehehe.

Film ini bersurasi 79 menit. Tetapi tidak terasa singkat atau terlalu lama.
Walaupun sekitar 20/15 menit akhir, alur cerita agak terasa diulur-ulur dengan banyak menampilkan adegan non dialog.
Beberapa adegan humor yang ada pun terasa mengena. (Silet. Ha Ha !).
Jalan cerita yang ada (dan dengan selipan kesaksian-kesaksian yang menurut saya terasa oke dan unik), tetap hadir dengan menarik.

Kekurangan yang ada pun, dari faktor suara yang kurang bersih, beberapa score yang kurang pas dan agak cheesy, dan faktor teknis yang lain, walaupun terasa, tetapi menurut saya hanyalah masalah dana yang mencekik.
Ini indie coy. Hahaha.

Quote favorit saya adalah
Cina : "Bah, maket itu?"
Sebuah konfrontasi awal antara Cina dan Anisa, yang masih menyisakan karakter awal kedua tokoh tersebut (Cina yang langsung kabur dan Annisa yang malas memungut).
Tetapi menjadi sebuah turning point awal (Cina yang membetulkan maket yang ia rusakkan, dan Annisa yang mau menerima Cina setelah sebelumnya mengacuhkan Cina yang meminta tandatangan saat Ospek.) Haha.

Overall, film ini merupakan suatu hasil buah pikir idealis yang belum terkontaminasi, yang hadir dalam suasana indie yang kental.

Akhir kata, sebelum mengakhiri note (apa essay?) ini, mengambil contoh salah satu percakapan antara Cina dan Annisa, (kata-katanya sih kaga kayak gini, tapi intinya sama lah)
"Generasi muda Indonesia adalah generasi yang menyerap filosofi dari film".
Karena itu, Maju terus Perfilman Indonesia.


Capek gw.

Hehehe.

Ciao.

1 comments:

Edo said...

ahahha!! yes district 9 is unique.. but the ending bener2 bikin ngegigit banget!!!! sayaaanggg jadinya begitu.. tanggung tanggung>,<

Post a Comment